Makalah Pemilihan Bentuk Usaha Organisasi

BAB I
PENDAHULUAN



1.1          Pendahuluan
 
Pajak merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan APBN di Indonesia. Keberadaan pajak secara langsung telah mempengaruhi jalannya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan-kegiatan usaha di indonesia. Mengingat salah satu unsur objek pajak adalah penghasilan, maka tentu saja pemungutan pajak ini mencakup bentuk-bentuk usaha baik yang perseorangan maupun berbentuk badan. Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri terdiri dari 3 macam yaitu BUMN, Koperasi dan Swasta. Namun yang tentunya menjadi objek pajak penghasilan adalah bentuk usaha Swasta, yang mana hal itu bertujuan semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah kekayaan. Bentuk usaha Swasta sendiri terbagi 5 yaitu perseorangan, CV(persekutuan komanditer), Firma, PT(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara semua itu tentunya memiliki perlakuan pajak yang berbeda-beda. Perusahaan perseorangan yang pemiliknya hanya satu orang tentu akan mendapat pemungutan pajak yang berbeda dengan perusahaan yang pemiliknya lebih dari satu orang seperti CV, Firma, PT dan Yayasan. Selain itu dalam memungut pajak juga ditentukan dari omzet yang didapat. Semakin besar omzet/penghasilan yang didapat maka semakin besar pula pajak yang dikenakan. Karena kondisi itulah menyebabkan terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib pajak untuk menghindari pajak atau meringankan beban pajak pajak yang didapat dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. Sehingga perencanaan perpajakan (tax planning) dapat digunaan oleh badan usaha tersebut dalam melakukan kewajiban perpajakannya.


1.2          Rumusan Masalah

1. Apa saja bentuk usaha di indonesia?

2. Bagaimana bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan?

3. Bagaimana pengaruh bentuk usaha untuk alternatif perpajakan?



1.3          Tujuan Penulisan

1. Untuk memaparkan mengenai bentuk usaha di Indonesia.

2. Untuk memaparkan mengenai bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan.

3. Untuk memaparkan mengenai pengaruh bentuk usaha untuk alternatif perpajakan.




BAB II
PEMBAHASAN


2.1      Pemilihan Bentuk Organisasi Usaha

Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Kommanditer (CV) atau Perorangan (Pribadi).

1.    Perseroan (Corporation)

-       Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas (PT) menurut undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bab 1 pasal 1 ayat 1 adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat atau tanda kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki tersebut dikenal sebagai surat berharga (marketable securities) yang dapat diperjualbelikan kepada pihak lain. Masing-masing pemegang saham (Pesero) tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan tidak bertanggung jawab atas kerugian PT melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Atas keuntungan PT dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-undang Pajak Penghasilan.

Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib Pajak yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik berupa sumber daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi arus mengalirnya penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang saham dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena dividen itu dihitung dari laba setelah pajak, maka di sisi perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap besarnya keuntungan usaha atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas keuntungan atau laba usaha akan dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau laba tersebut dibagi kepada para pemegang saham akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).

Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya perusahaan, dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit pajak bagi pihak yang dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.


2.    Persekutuan

Perusahaan persekutuan adalah badan usaha yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang secara bersama-sama bekerja sama untuk mencapai tujuan usaha. Untuk mendirikan badan usaha persekutuan membutuhkan izin khusus pada instansi pemerintah yang terkait. Contoh : Perseroan Komanditer (CV)

Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang- undang Pajak Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23 dan bagi yang menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double taxation.

Kelebihan dari persekutuan adalah modal dan kerugian ditanggung bersama serta terciptanya spesialisasi. Sedangkan kekurangan dari persekutuan adalah tanggung jawab terbatas, laba dibagi sesuai dengan jumlah pemilik dan pengendalian perusahaan juga terbagi di antara pemilik.


-       Perseroan Komanditer (CV) atau Firma

Perseroan Kommmanditer (CV) adalah suatu persekutuan dua orang/lebih sebagai persero pengusaha (aktif) dan satu orang atau lebih sebagai pesero kommanditer (tidak aktif) untuk menjalankan suatu perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh laba.

Ketika telah mendirikan sebuah CV, maka yang harus dilakukan menurut ketentuan perpajakan adalah:

1.      Melaporkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi domisili/lokasi usaha CV yang bersangkutan untuk memperoleh NPWP

2.      Meminta untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila peredaran usaha dalam satu tahun pajak telah mencapai lebih dari Rp4,8 miliar, atau belum mencapai lebih dari Rp4,8 miliar namun memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP (misalnya karena akan menjadi rekanan pemerintah, dll)

3.      Menyelenggarakan pembukuan secara taat asas sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP

4.      Menyimpan buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online selama 10 tahun di Indonesia

5.      Menghitung besarnya pajak yang terutang secara mandiri sesuai prinsip self assessment

6.      Memperhitungkan besarnya pajak-pajak yang telah dipotong/dipungut pihak lain dalam pajak terutang sesuai ketentuan Pasal 28 UU PPh

7.      Menyetorkan besarnya pajak kurang bayar ke bank persepsi/kantor pos dengan menggunakan SSP

8.      Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap dan jelas dan melaporkannya ke KPP tempat CV terdaftar sebagai Wajib Pajak

9.      Melaksanakan ketentuan perpajakan dengan baik dan benar

Ketentuan Umum Perpajakan Untuk CV

Beberapa ketentuan di bawah ini berlaku baik untuk CV maupun badan hukum lainnya:

1.      Kewajiban pajak subjektif CV dimulai saat CV didirikan dan berakhir pada saat dibubarkan

2.      Yang menjadi objek pajak CV adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal atau keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.

3.      Mengingat CV merupakan badan yang menjadi subjek pajak, maka hak dan kewajiban CV sama seperti hak dan kewajiban PT di mata UU Pajak

Secara umum jenis pajak yang harus dipenuhi oleh CV adalah:

·         Apabila CV membayarkan penghasilan kepada karyawannya (baik tetap maupun tidak tetap), CV harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21

·         Apabila CV melakukan penyerahan yang terutang PPN, CV yang telah dikukuhkan sebagai PKP harus menerbitkan faktur pajak dan memungut PPN sebesar 10% dari harga jual/nilai penggantian

·         Apabila CV bertransaksi dengan bendaharawan pemerintah, CV akan dipungut PPN dan PPh Pasal 22/23

·         Apabila CV melakukan penjualan/penyewaan tanah dan/atau bangunan, CV harus memotong/menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) bersifat final

·         CV harus membayar angsuran PPh Pasal 25 sesuai ketentuan yang berlaku

·         Apabila CV memperoleh penghasilan dari luar negeri dan telah dipotong pajak di negeri tersebut, maka pajak yang telah dipotong dapat dijadikan kredit pajak sesuai dengan mekanisme pengkreditan pajak Pasal 24 UU PPh

·         dll yang ketentuannya dipersamakan dengan PT/Wajib Pajak badan lainnya


3.    Perorangan (Pribadi)


Usaha Perorangan adalah perorangan (pribadi) yang menjalankan suatu usaha dengan tujuan untuk memperoleh laba. Peorangan tersebut bertanggung jawab penuh atas jalannya usaha. Jika usaha tersebut pailit atau bangkurt, perorang ini bertanggungjawab penuh atas seluruh harta-harta pribadinya terhadap hutang-hutang usahanya. Ini adalah bentuk usaha yang paling sederhana dan tidak perlu pembuatan akte pendirian.

Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, usaha perorangan wajib melakukan pembukuan atau hanya melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan.

Atas pendapatan (keuntungan) usaha perorang tersebut, sesudah dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dikenakan pajak penghasilan orang pribadi dengan tarif pasal 17 ayat (1) Undang- Undang Pajak Penghasilan sebagai berikut:


Tarif 5 %          : s/d Rp. 50.000.000

Tarif 15%         : Di atas Rp. 50.000.000 s/d Rp. 250.000.000

Tarif 25%         : Di atas Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000

Tarif 30%         : Di atas Rp. 500.000.000


Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang diperoleh di atas Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 30%.

Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal adanya pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha tetap harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga dapat dipisahkan biaya penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya pemisahan antara harta usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan kewajiban melaporkan pajaknya.


2.2      Pengaruh Pemilihan Bentuk Usaha Untuk Alternatif Perpajakan


Dalam ketentuan umum perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua yaitu Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak badan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada setiap Wajib Pajak, baik Wajib Pajak perorangan maupun Wajib Pajak badan atas penghasilan yang diterimanya dalam setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak badan dalam penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak. Lapisan terendah tarif pajak bagi perorangan adalah 5% dan lapisan tertinggi bagi perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib Pajak Badan tarifnya 28%


Perbandingan Beban Pajak Penghasilan


Walaupun masing-masing bentuk usaha tersebut di atas mempunyai karakter yang berbeda-beda beserta keunggulan dan kelemahannya, penulis akan mencoba memberikan perbandingan atas beban pajak untuk masing-masing bentuk usaha. Supaya perbandingan beban pajak ini dapat dilakukan secara obyektif, penulis mencoba memberikan asumsi- asumsi pendapatan, pembebanan biaya dan pembagian keuntungan yang sama untuk masing- masing bentuk usaha tersebut, seperti yang ada di tabel 1 dibawah ini:


Tabel 1 : Perbandingan Beban Pajak Penghasilan untuk Penjualan Rp 1,5 Milyar

Keterangan
   

Perseroan
   

Persekutuan
   

Perorangan dg Pembukuan

Penjualan
   

        1.500.000.000
   

        1.500.000.000
   

        1.500.000.000

Beban Usaha *2)
   

        1.200.000.000
   

        1.200.000.000
   

        1.200.000.000

Laba Usaha
   

            300.000.000
   

            300.000.000
   

            300.000.000

PTKP *3)
   

                                  -
   

                                  -
   

              72.000.000

PKP
   

            300.000.000
   

            300.000.000
   

            228.000.000

PPh Terutang
   

              75.000.000
   

              75.000.000
   


29.200.000

Laba Sesudah PPh
   

            225.000.000
   

            225.000.000
   

            198.800.000

PPh 23 atas Deviden *4)
   

              33.750.000
   

                                  -
   

                                  -

Total Beban Pajak
   

            108.750.000
   

              75.000.000
   

              29.200.000



Asumsi:

*1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang 50% dari Peredaran Bruto

*2) Beban Usaha 80% dari Penjualan

*3) PTKP K/3 = Rp. 72.000.000 (54.000.000+4.500.000+(4.500.000*3)

*4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%


Dari Tabel 1 di atas, terlibat bahwa total beban pajak terkecil adalah usaha perorangan dengan pembukuan sebesar Rp. 29.200.000, sedangkan total beban pajak terbesar adalah pada usaha perorangan dengan Norma penghitungan sebesar Rp. 148.400.000. Hal ini terjadi karena secara umum Norma Penghitungan menetapkan margin keuntungan usaha yang lebih besar (50%) daripada keuntungan usaha sebenarnya (20% dengan pembukuan).



2.3      Treatment Pajak Saat Perusahaan Merger, Akuisisi dan Likuidasi


1.    Merger dan Akuisi

-       Merger

Adalah penggabungan perusahaan dengan jalan pemilikan  langsung oleh suatu perusahaan terhadap harta milik dari satu atau lebih perusahaan lain yang digabungkan.

-       Akuisisi

Penggabungan perusahaan disebut dengan akuisisi adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan dengan cara menguasai posisi control terhadap perusahaan lain. Posisi control ini diperoleh dengan jalan menguasai sebagian besar (lebih dari 50%) saham perusahaan lain.


Aspek Perpajakan dalam Merger dan Akuisisi

1.    Aspek Pajak Penghasilan

Apabila suatu perusahaan mengakuisisi perusahaan lain, transaksi tersebut mungkin terkena pajak mungkin pula tidak. Dalam peristiwa taxable acquisition, pemegang saham dari perusahaan yang diakuisisi diperlakukan sebagai menjual saham yang mereka miliki, dan karenanya akan memperoleh capital gains (yang akan dikenakan pajak) atau loss. Dalam peristiwa akuisisi yang taxable, perusahaan yang mengakuisisi mungkin melakukan revaluasi atas aktiva tetap dari perusahaan yang diakuisisi.

Seperti yang kita ketahui bahwa menurut PSAK terdapat dua metode dalam melakukan merger atau akuisisi, yaitu metode Nilai Pasar (Purchase) dan Pooling of Interest. Prinsip akuntansi membebaskan perusahaan untuk memilih metode mana yang dipakai dengan meperhatikan makna ekonomisnya. Sedangkan dalam Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan tentang dasar pengenaan pajak atas penggabungan usaha, mengatur bahwa : Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh menteri keuangan.

Pihak Direktorat Jendral Pajak memutuskan untuk tidak menggunakan pooling of interset yang menggunakan nilai buku sebagai dasar dalam pengalihan harta dari penggabungan perusahaan. Hal ini sikarenakan penggabungan perusahaan dengan metode pooling of interest sama sekali tidak menghasilkan penghasilan kena pajak, karena penggabungan tersebut didasarkan atas nilai buku dari kedua perusahan, dan bukan berdasarkan suatu penilaian kembali atau nilai pasar. Lain halnya apabila menggunakan metode By Purchase yang berdasarkan pada nilai pasar.

Bagi pihak perusahaan yang melakukan merger atau akuisisi sepintas akan terlihat bahwa merger dengan nilai buku akan lebih menguntungkan karena dapat terhindar dari PPh atas laba selisih kenaikan aktiva (objek pajak UU PPh pasal 4 ayat 1d-3). Namun merger nilai pasar akan memberi keuntungan laba kena pajak yang lebih minim di masa depan karena adanya amortisasi goodwill (UU PPh pasal 11A ayat 1) dan depresiasi yang lebih besar dari kenaikan nilai aktiva.

Dalam melakukan merger atau akuisisi dengan menggunakan metode Purchase akan menimbulkan pengenaan pajak penghasilan atas keuntungan atau goodwill yang diperoleh dalam proses merger atau akuisisi. Dalam pasal 4 (1) (d) angka 3 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemecahan, pengambilalihan, likuidasi usaha dengan nama dan bentuk apapun, merupakan objek pajak.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 79/PMK.03/2008 atas revaluasi aktiva untuk merger degan nilai pasar dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat Final. Dari contoh PT Dia dengan menggunakan metode Purchase menghasilkan goodwill sebesar Rp 200.000.000. Goodwill ini akan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final. Maka pajak terutang yang muncul adalah :

10% x Rp 200.000.000 = Rp 20.000.000


2.    Aspek PPN

Dalam pasal Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Barang Mewah pasal 1A ayat (2) huruf (d) menyatakan bahwa pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambil alihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Sehingga dalam penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.


3.    Aspek BPHTB

Dalam Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000, yang dimaksud dengan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sedangkan pada Pasal 2 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 ) dijelaskan mengenai objek BPHTB yaitu Pemindahan Hak karena :

a.    Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.

b.    Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.

c.    Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.

Dari penjelasan Undang-Undang di atas dapat disimpulkan bahwa pengalihan hak atas tanah dan bangunan karena merger atau konsolidasi merupakan objek BPHTB. BPHTB dikenakan sebesar 5% dari Nilai Jual Objek Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Dalam Peraturan Menteri Keuangan ±91/PMK.03/2006 dijelaskan bahwa besarnya BPHTB karena merger atau akuisisi dapat diajukan permohonan pengurangan sebesar 50% jika menggunakan nilai buku. Besarnya NPOPTKP adalah maksimal 60 juta dan maksimal 300juta untuk waris.

Masalah Perpajakan dalam Penggabungan Usaha

Aspek perpajakan berpengaruh terhadap penentuan metode apa yang akan dipakai dalam penggabungan usaha selain dengan menggunakan pertimbangan hukum. Perlu diketahui bahwa pasal 4 ayat 1 huruf d angka 1 Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994, menyebutkan bahwa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah salah satu objek pajak. Kemudian Pasal 10 ayat 3, Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 Tahun 1994 mengatur tentang dasar pengenaan pajak atas penggabungan usaha. Pasal ini mengatur bahwa:

"Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh menteri keuangan."

Apabila mengacu pada peraturan pajak ini berarti bisa diambil suatu kesimpulan bahwa penggabungan usaha yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan adalah dengan menggunakan metode by purchase, yang menilai aktiva berdasarkan harga pasar bukan menggunakan metode pooling of interest, yang menilai aktiva berdasarkan nilai sisa buku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 3, Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang dasar pengenaan pajak atas penggabungan usaha. Pasal ini mengatur bahwa: "Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh menteri keuangan”.

Dalam pelaksanaannya penggunaan metode Pooling of Interest diperbolehkan digunakan dengan diatur dalam Peraturan Menteri Keuanagn Republik Indonesia Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Pada pasal 2 dijelaskan mengenai syarat wajib pajak yang melakukan penggabungan usaha menggunakan nilai buku, antara lain:

a.    Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alas an dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;

b.    Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait;

c.    Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (Business Purpose Test).

Ketentuan perpajakan tidak seperti prinsip akuntansi yang mengatur bahwa pemilihan metode penggabungan usaha yang dipakai didasarkan dengan memperhatikan makna ekonomisnya dan bukan melihat pada bagaimana transaksi itu menurut hukumnya (formalitas). Dengan demikian bisa diartikan bahwa prinsip akuntansi membebaskan perusahaan untuk memilih metode mana yang akan dipakai.

Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Direktorat Jenderal Pajak memutuskan untuk tidak memperbolehkan penggunaan metode pooling of interest dalam rangka penggabungan usaha. Jawabannya tidak lain bahwa dengan pooling of interset, tidak ada pajak yang dibebankan atas penggabungan usaha tersebut, lain halnya apabila menggunakan metode by purchase yang berdasarkan pada nilai pasar.Meskipun demikian seperti yang dikatakan dalam pasal 10 ayat 3 bahwa dasar penilaian lain dimungkinkan, dalam hal ini menggunakan metode pooling of interest dengan terlebih dahulu meminta izin kepada menteri keuangan.

Contoh di atas akan dipergunakan untuk memperjelas perbedaan antara kedua metode tersebut dari sisi pengenaan pajak penghasilan. Pada metode by purchase nilai buku aktiva (book value) dari PT Dia adalah Rp 750.000.000, sedangkan nilai wajar atau nilai pasarnya (market price) sebesar Rp 1.200.000.000, maka ada penghasilan sebesar Rp 450.000.000 yang timbul sebagai akibat adanya selisih antara nilai wajar (market price) dengan nilai buku (book value) Penghasilan inilah yang merupakan objek pajak penghasilan yang nnatinya akan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final.

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 bahwa: “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.” Selanjutnya huruf d angka 3 dari pasal 4 ini menyebutkan bahwa salah satu yang termasuk objek pajak adalah keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. Jadi keuntungan yang diperoleh oleh PT Aku yang disebabkan karena penggabungan usaha dengan cara melakukan pembelian aktiva milik PT Dia adalah merupakan objek pajak.

Sekarang bagaimana dasar pengenaan pajak untuk perusahaan yang melakukan penggabungan usaha atas dasar metode pooling of interest. Seperti telah dijelaskan di atas, metode pooling of interest menggunakan nilai buku sebagai dasar dalam pengalihan harta dari penggabungan perusahaan. Dengan ini berarti bahwa penggabungan perusahaan dengan metode pooling of interest, sama sekali tidak menghasilkan penghasilan kena pajak, karena penggabungan tersebut didasarkan atas nilai buku dari kedua perusahan, dan bukan berdasarkan suatu penilaian kembali atau nilai pasar.

Apabila diteliti lebih lanjut dengan menggunakan kasus penggabungan PT Aku dan PT. Dia di atas, bisa dilihat bahwa sebenarnya keuntungan yang diperoleh apabila ditinjau dari perusahaan yang diambil alih, keuntungan yang diperoleh bukan dari selisih harga pasar dengan nilai sisa buku saja, yang merupakan objek pajak, tetapi juga nilai goodwillnya. Jadi proses penggabungan usaha antara PT Aku dan PT. Dia, memberikan keuntungan sebesar Rp 650.000.000 yang merupakan penjumlahan antara goodwill, Rp 200.000.000 dan Rp 450.000.000 yang merupakan selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku. Bila diteliti dengan seksama jumlah inilah yang sebenarnya merupakan objek pajak, karena keuntungan yang diperoleh dari penggabungan usaha tersebut juga termasuk nilai goodwill didalamnya, bukan hanya keuntungan yang diakibatkan selisih antara harga pasar dan nilai buku.

Yang harus diwaspadai, usaha-usaha perusahaan dalam melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha, sering dijadikan sebagai suatu cara untuk memanipulasi pajak, dengan cara menetapkan harga pasar yang lebih rendah.




2.    Likuidasi


Dalam “Encyclopedia of Banking and Finance”, istilah likuidasi mempunyai 3 (tiga) arti :

1.       Likuidasi berarti realisasi tunai, artinya penjualan kepemilikan saham, obligasi atau komoditas baik untuk memperoleh laba maupun mengantisipasi ataupun menghindari kerugian-kerugian karena harga lebih rendah.

2.       Likuidasi berarti pengakhiran suatu perusahaan dengan cara pengkonversian aset-asetnya menjadi uang tunai.

3.       Likuidasi berarti suatu cara penyembuhan yang tersedia bagi debitur yang tidak bisa membayar kewajiban-kewajibannya atau disebut Insolvensy.

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa likuidasi adalah :

1.      Tindakan menentukan dengan kesepakatan atau melalui litigasi jumlah secara pasti (sebagai hutang atau biaya) yang sebelumnya tidak pasti;

2.      Tindakan menyelesaikan hutang piutang dengan cara pembayaran ataupun cara lain;

3.      Tindakan atau proses penggantian aset menjadi kas/uang tunai untuk menyelesaikan hutang piutang.Berdasarkan UU PPh pasal 10 (3) dinyatakan bhw: “nilai penga-lihan harta dalam rangka likuidasi hrs berdasarkan harga pasar”


Dalam proses likuidasi perusahaan, pajak merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan oleh likuidator. Hal ini dikarenakan likuidator merupakan wakil perusahaan dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Sangat perlu dipahami bahwa likuidasi adalah suatu siklus dan keputusan bisnis yang memiliki dampak perpajakan tersendiri.


a.    Aspek Pajak Penghasilan (PPh)

Poin-poin penting dalam proses likuidasi perusahaan yang berkaitan dengan PPh antara lain sebagai berikut:

1.       Keuntungan karena pembebasan utang. Ketika kreditur memberikan pembebasan atau menghapus utang perusahaan, maka perusahaan mengakui keuntungan dari pembebasan utang tersebut sebagai penghasilan. Dikecualikan dari aturan ini adalah bagi perusahaan yang termasuk ke dalam kategori debitur kecil, yaitu apabila plafon kredit yang mereka terima tidak melebihi Rp350 juta.

2.       Piutang yang tak tertagih. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dapat dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan.

3.       Keuntungan karena pengalihan harta. Ketika perusahaan melakukan penjualan atau pengalihan harta maka setiap keuntungan dari pengalihan harta diakui sebagai penghasilan.

4.       Pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan bangunan merupakan objek PPh Pasal 4 (2) sebesar 5% dari nilai transaksi.

5.       Dividen. Pembayaran kembali kepada pemegang saham yang melebihi jumlah modal disetor dalam proses likuidasi dianggap sebagai pembayaran dividen kepada pemegang saham.


b.    Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Poin-poin penting dalam proses likuidasi perusahaan yang berkaitan dengan PPN antara lain sebagai berikut:

1.    Pengalihan atas aktiva. Perusahaan harus memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa aktiva dan persediaan yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.

2.    Aktiva dan persediaan yang tersisa. Barang Kena Pajak (BKP) berupa aktiva dan persediaan yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan merupakan objek PPN.


c.    Penagihan Seketika dan Sekaligus

Apabila terdapat tanda-tanda perusahaan akan dibubarkan, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penagihan seketika dan sekaligus.


d.    Kedudukan Likuidator

Likuidator menjadi wakil perusahaan dalam likuidasi dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Likuidator bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

Likuidator yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta perusahaan dalam yang dilikuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Hal ini dikarenakan negara memiliki hak mendahului untuk utang pajak atas harta-harta milik perusahaan. Hak mendahului menjadi daluwarsa setelah melebihi jangka waktu lima tahun. 


e.    Proses Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP


Sepanjang NPWP belum dihapus, perusahaan dalam proses likuidasi tetap melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya seperti menghitung, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang. Proses pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan tersebut diwakili oleh likuidator.

Proses penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau secara jabatan. Likuidator dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dengan melampirkan dokumen pembubaran perusahaan. Di samping itu, DJP dapat melakukan proses penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan tanpa harus menunggu permohonan tersebut disampaikan.

Proses penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP bagi perusahaan yang dilikuidasi dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.  Proses pemeriksaan tersebut termasuk ke dalam kategori pemeriksaan rutin, dilakukan untuk seluruh jenis pajak (all taxes), dan untuk tahun pajak bersangkutan, tetapi bisa diperluas ke tahun dan masa pajak sebelumnya.

Jangka waktu penghapusan NPWP bagi perusahaan dilakukan paling lama selama 12 bulan. NPWP dihapus ketika memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1.    Tidak memiliki utang pajak

2.    Tidak mengajukan upaya hukum dan administrasi

3.    Seluruh NPWP cabang telah dihapus




BAB III
PENUTUP



3.1   Kesimpulan



Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga bentuk Badan Usaha tersebut bersumber dari Undang – Undang 1945 khususnya pasal 33. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk badan yaitu Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ), Koperasi dan Swasta. Bentuk badan usaha swastadapat dibagi kedalam beberapa macam : Perseorangan, Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas (PT), Yayasan Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Kommanditer (CV) atau Perorangan (Pribadi).

Setiap badan atau orang pribadi yang memiliki usaha harus terdaftar di Kantor Pajak, untuk selalu melaporkan hasil usaha mereka dan berapa pajak yang harus dibayar. Lain halnya dengan merger, akuisisi dan likuidasi. Dalam pajak ada tata cara untuk ketiga hal tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

http://dheayull.blogspot.com/2018/04/makalah-pemilihan-bentuk-usaha.html

https://dokumen.tips/documents/aspek-pajak-dalam-merger-dan-akuisisi.html

http://www.wibowopajak.com/2014/08/pengertian-dan-besarnya-ptkp.html

http://www.putra-putri-indonesia.com/perhitungan-pajak-penghasilan.html

https://www.slideshare.net/nisauzumakiy/kel1-perencanaan-pajak-melalui-pemilihan-badan-usaha

http://www.pajak.go.id/content/214-perubahan-data-wajib-pajak




3 Responses to "Makalah Pemilihan Bentuk Usaha Organisasi"

  1. kalau bahan sisa sticker apa bisa diolah lagi gan biar irit
    buat referensi hemat bahan sticker gimana?

    salam,,






    harga sewa gedung Balai Makarti Muktitama jakarta

    biaya sewa Gedung Arsip Nasional

    ReplyDelete
  2. assalamualaikum teh, saya Tiara mahasiswi dari Bogor. saya tertarik dengan makalah teh Dhea ini, apa boleh saya jadikan sebagai rujukan penelitian saya? Jika boleh saya ingin minta dokumennya dalam bentuk word teh, ke email saya tiarawulandari96@gmail.com ..... syukron sebelumnya teh...

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel