Kita, Kenangan dan Kafe

Hujan sore ini cukup deras. Sudut kota yang ramai berubah sekejap menjadi sepi. Untunglah aku massih dengan payung bungaku yang besar dan berat. Setidaknya, air hujan tidak begitu membasahi tubuh mungilku. Akupun mulai melangkah, namun ragu karena hujan semakin deras. 
"Ah mengapa cuaca hari ini tidak bersahabat!" gumamku dalam hati. Terasa berat untuk melangkah dan aku pun memutuskan untuk meneduh di depan fashion outlet. Terlihat sebuah kafe di pojokan jalan.Sepertinya cafe itumengajakku untuk sejenak melelepas penat hari ini. Tanpa fikir panjang, akupun segera bergegas menuju kafe pojokan itu.
Ku lihat sekeliling kafe itu.
"OK! Thats my style. Very comfortable and eye-catching" 
Akupun memilih tempat duduk sofa yang ada di paling ujuk dekat jendela menghadap arah jalan. Aku memesan secangkir kopi hitam dan roti. Akupun mulai membenarkan payungku agar tidak membuat lantai kafe itu terlalu kotor. Setelahnya, akupun membuka laptop dan melanjutkan tulisanku.
"Arabican Capuchinno dan Grean Tea bread?" seorang waiter mengagetkanku.
'Hmm ya ya ya. Thanku" jawabku tersenyum malu.
"With a pleasure nona" balasnya.
Akupun segera mencicipi kopi dan rotinya. Ya. cafein itu menyegarkan dan I Like it So Much. Membuat tulisanku sellau lebih relevan dengan khayalan yang terkadang terkesan aneh. Setelah mencicipi, akupun melanjutkan tulisanku sambil menikmati rintikan air hujan yang mulai mereda.
Ya, aku memang hobi menulis dari SMA. Sudah dua buku yang kutulis dan aku sangat bersyukur karena novelku menjadi best seller. Aku adalah mahasiswi tingkat akhit jurusan komunikasi universitas negeri di Bandung. Namun, hobiku menulis. Aku masih tinggal bersama orang tuaku dan merupakan putri tunggal mereka. Namun, mereka jarang ada di rumah yang membuatku merasa kesepian. Ya, memang sedih seperti hidup hanya sendiri. Tapi mereka begitu karena untukku juga. Maka dari itu aku sering menulis mengisi waktu senggangku.
"Ah tidak ini sudah jam 5 sore! Mati lah, pasti nanti kejebak macet ini." gumamku setelah melirik jam dinding yang ada di dinding tengah kafe. Akupun segera memasukkan latop ke dalam ranselku dan buru-buru bergegas menuju ke luar kafe.Akupun mulai melangkah tanpa ragu dan merasa senang.
"Hmmm...wangi! Ya bau tanah itu wangi. Natural dan aromanya itu menyegarkan" ucapku sambil melewati trotoar yang ditanami berbagai pohon besar. Untunglah hujannya reda, jadi aku tidak repot-repot memakai payungku.
"Hah? Payungku! Ah tidak! Payungku pasti tertinggal di kafe itu. Ah mati lah, gimana kalo ilang. Gawat"
aku pun buru-buru berbalik arah menuju kafe itu dan ya! Payungku masih ada di sana, di  samping sofa yang tadi aku duduki. Namun, sofa itu sudah terisi oleh seorang pria yang memakai ikat kepala yang funky.
"Ah mau bagaimana lagi, mau tidak mau aku harus mengambil payungku" ucapku dalam hati. Akupun melangkah ragu ke arah sofa itu.
"Heh, Cari tempat lain! Gausah genit!" bentak pria itu.
"Aku cuma mau ambil payungku yang tertinggal saja ko. Hih, kepedean banget sih!" balasku sambil buru-buru meninggalkan kafe itu.
"Amit-amit dah itu cowok. So ganteng, kasar, galak, dan kepedean! Hih!" gumamku kesal

*

Keesokan harinyam aku terfikirkan untuk kembali ke kafe itu. Sepertinya suasana kafe itu membuatku inspirasiku terbuka lebih luas. Aku memutuskan untuk kembali ke kafe itu sambil membawa payung kesayanganku ini. Sesampainya di depan kafe, aku buru-buru bergegas menuju sofa kemarin yang aku tempati. Sore ini, aku hanya memesan secangkir teh.
Aku pun membuka laptopku dan melanjutkan tulisanku lagi. Aku selalu berharap tulisanku menjadi best seller dan tidak mengecewakan pembaca. Jeda menulis, aku meminum secangkir teh tawa itu sambil melihat keadaan sekitar kafe. Dan, yang terkahir kulihat adalah pria yang kemarin membentakku menuju arah sofa ini. Buru-buru aku segera menaruh payungku di sofa depanku. 
"Boleh saya ikut gabung?" tanyanya sok manis.
"Cari saja tempat lain. Tuh masih kosong!" jawabku smabil menunjuk kursi yang ada di sekitar dan faktanya semua kursi terisi penuh. Semua yang ada di kafe melihat ke arahku dan akupun malu. Mau tidak mau, aku harus berbagi tempat dengannya. Kami sama sekali tidak berkata apapun setelahnya. 

**

Di rumah. 
"Arni, kamu mau kemana? Sore gini masih keluyuran!" ucap seseorang dari ruang tengah. Ku hampiri ke ruang tengah, dan ternyata ibuku. Ah, tidak begitu special ada ibu ataupun tidak pasti mereka hanya cukup bertanya dan tidak memperhatikanku lebih. 
"Nugas bu sambil ngopi di kafe. Dah Ibu" jawabku sambil melangkahkan kakiku keluar dan membuka payungku dan berjalan. 
Sebenarnya aku datang ke kafe itu hanya ingin santai saja, ya ngadem setelah melalui beberapa hari kemarin UAS di kampus. 
Setibanya di kafe kemarin. Aku langsung memesan lemon tea  dan nasi goreng tanpa melihat kapasitas tempat di kafe itu. Tanpa fikir panjang, akupun langsung menuju sofa biasa. Damn! Pria itu lebih dulu menempati sofaku. Ah mukaku mau ditaro dimana. Bingung, tapi aku sudah memesan. Jadi ya, biarlah sekali-kali membuatnya gr. 
"Sorry Mas, boleh ikut?" tanyaku malu-malu. 
"Ya, silahkan!" jawabnya. Aku pun buru-buru duduk dan meletakkan payungku di samping sofa. Aku bingung harus ngapain  karena aku hanya membawa dompet dan payung. 
"Eh, btw namamu siapa?" tanyanya mengagetkanku. Akupun terdiam mendengar dia bertanya seperti itu. Wajahnya yang jutek ternyata bisa juga bertanya seperti itu. Rasanya aku ingin tertawa. 
"H e l l o o o o" tegurnya memecahkan lamunanku. 
"Ya, namaku Arnidi Stefani. Panggil saja Arni.Kalo mas sendiri?" timbalku
"Oh, saya Andi. Loh kok Mas? Memang saya terlihat tua? Hahaha" jawabnya sambil tertawa dan aku pun mendadak bisu dan terdiam.
"Gausah shock, saya bercanda kok. Btw, saya seorang analis dek. Loh, biasanya kamu bawa laptop kan? Memang kamu bekerja dimana?" ucapnya.
"Sebenarnya saya mahasiswi tingkat akhir, namun saya juga seorang penulis amatiran. Hehe" jawabku nyengir.
Sejak itulah, kami akrab, bercanda tawa. Banyak hal yang kami obrolkan, namun tidak membuatku bosan. Pria berikatkan kain di kepalanya itu membuatku merasa nyaman. Dan dia meminta nomor handphone-ku. Modusnya sih untuk tukar informasi.
Setahun berlalu, kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu di kafe itu setiap hari mulai pukul 4 sampai sebelum adzan magrib. Dan hingga akhirnya dia bertanya sesuatu kepadaku.
"Arni, boleh Mas-mu ini antar kamu pulang?"tanyanya.
"Ya boleh lah Mas. Kenapa gak dari dulu?"jawabku sambil tertawa.
"Aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada pria lain yang dekat dengnamu. Ya, aku tidak mau kena resiko pulang-pulang semua memar. Hehe" jawabnya nyengir. 
Kami pun tertawa sepanjang jalan, ngobrol ngaler ngidul tapi kami sangat menikmati hari-hari itu.

Sesampainya di depan rumah.
"Boleh aku tanya sesuatu lagi?" ucapnya
"Apa lagi toh Mas?" kataku. 
"Kamu ko bawa payung terus? Emang gak berat? Lagian kan jarang ujan juga" ucapnya
"Lalu kenapa Mas juga selalu pakai ikat kepala? Bosan tuh aku liatnya gak pernah diganti!" timbalku sambil tertawa.
"Aku serius, jika aku melepas ikat kepalaku. Apa kamu mau pergi tanpa payungmu yang berat itu?"katanya sambil memasang muka penuh tanda tanya besar.
"Sebenarnya, aku lupus Mas. AKu tidak bisa terkena sibar matahari langsung. Maka dari itu, aku selalu membawa payung ini kemanapun dan kapanpun." jawabku tanpa berfikir panjang.
"Hmm baiklah yasudah aku pulang ya." jawabnya dengan muka disertai rasa kecewa.
"Oke mas. Hati-hati ya."timbalku.

***

Keesokan harinya.
Seperti biasa, aku menuju kafe itu. Sepertinya aku lebih awal datang, dan aku pun berinisiatif memesan dua cangkir kopi. Yang satu untukku dan yang satu lagi untuk Mas Andi. Ya, sebagai ucapan terimakasih telah mengantarku pulang sewaktu kemarin. 
30menit berlalu dan dia masih belum datang. 
"Mungkin, dia lembur. Mungkin dia terjebak macet kali ya" fikirku positif tentangnya.
Pukul 17.30, dia masih tak kunjung datang. Sudah hilang kesabaranku, dan mulailah aku berfikir negatif tentangnya. Aku pun mulai menelponnya, namun teleponku tidak sama sekali diangkat dan yang lebih parahnya direject. Oh, God. Ada apa dengnanya. 
Akupun bergegas keluar dari kafe itu. Merasa kecewa, menunggunya dan tidak dapat menghubunginya. 
"Mungkin dia tidak mau berhubungan dengan orang berpenyakitan sepertiku. Mungkin karena dia tau kebenarannya, dia tidak mau denganku. Ah baiklah" ucapku dalam hati merasa kesal dan merasa terkhianati semua penantianku. 

****

Hari-hari berlalu, tanpa kabar. Tapi aku masih dan selalu datang ke kafe itu pukul 4sore. Berharap dia datang dan kembali seperti dulu. Hingga suatu hari, aku mendapat sebuah pesan singkat di handphone-ku.

Arni, terimakasih selalu menemaniku selama ini
Aku telah menemukan pendampingku
Minggu ini datang ya ke acara pernikahanku di Hotel xxx
Ditunggu nih sama Mas-mu

Betapa menyakitka semua penantianku. Hancur hatiku. Pecah sudah semua rasaku, air mataku tak dapat kubendung lagi. Iya, aku telah jatuh cinta. Ya, aku jatuh. Terlalu rapuh. Dia adalah super double caffeine dream. Impianku. Ah, sudahlah! Semua harapku hanyalah harapan kosong. Dia butuh waktu setahun untuk mendekatiku dan memastikanku. Tapi dia hanya butuh waktu satu hari untuk pergi dan meninggalkanu. Yes! A guy can like u for a minute and then forget u afterwards...


"People come and go, like waves. Sometimes they stay longer like big waves. Other timem stay for a shorter amount of time like smaller one. We have to keep moving forward and try not to get too attached to them or we eill be down- Sachi" 



Created by: dheyul-080615

0 Response to "Kita, Kenangan dan Kafe"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel